Tersebutlah kisah di suatu negeri antah-berantah. Pak Dirman hidup bersama keluarganya. Pak Dirman memiliki kios untuk berjualan ikan di pasar. Suatu hari Pak Dirman meminta anak bungsunya untuk membuat tulisan yang dapat dipasang di depan kiosnya.
Kemudian anaknya membuat papan berwarna cerah berisi tulisan “KAMI JUAL IKAN SEGAR DI SINI”. Pak Dirman meminta menghilangkan kata “KAMI” karena memberi kesan menitikberatkan pada penjual bukan pembeli. Pak Dirman berpesan pada anaknya untuk mengutamakan pelanggan.
Kemudian si anak mengganti tulisannya menjadi “DI SINI JUAL IKAN SEGAR”. Kebetulan pada hari yang sama ada kerabat jauh yang datang berkunjung. Si kerabat memberi masukan untuk menghapus kata “DI SINI” karena tidak efisien.
Pak Dirman dan si bungsu setuju kemudian mengganti tulisan menjadi “JUAL IKAN SEGAR”. Kemudian istrinya yang baru pulang arisan mengatakan untuk menghilangkan kata “JUAL” karena jelas-jelas ikan itu dijual. Menggunakan kata “JUAL” jelas tidak efisien.
Tidak ingin bertele-tele, maka digantilah tulisan itu menjadi “IKAN SEGAR”. Dampaknya, lebih banyak pembeli yang tertarik karena merasa dimudahkan ketika mencari ikan segar. Efektifitas tulisan tersebut dapat dilihat dari meningkatnya pengunjung ke kios mereka. Cara itu terbukti mendorong kinerja ekselen.
Selama beberapa waktu tulisan tersebut mendapat respon yang baik. Hingga suatu hari datang salah satu tetangga mereka, Bu Bambang. Bu Bambang menanyakan mengapa harus ada kata “SEGAR”. Dia curiga apakah benar ikan yang mereka jual segar. Dia juga menuduh mereka berbuat curang.
Bu Bambang yakin tulisan itu bermaksud menutupi kondisi produk ikan yang sebenarnya tidak segar. Menanggapi hal itu, Pak Dirman yang lembut hati lalu meminta anaknya mengganti lagi tulisannya. Akhirnya hanya ada tulisan “IKAN”.
Pada hari berikutnya, ketika Pak Dirman berjalan-jalan di area kios, tiba-tiba dia terhenyak. Dia sadar bahwa kiosnya berada di area pasar yang berisi banyak penjual ikan. Sehingga dari jarak 200 meter pun sudah tercium bau amis ikan. Jadi dia sendiri menyimpulkan bahwa tidak ada gunanya menulis “IKAN” karena semua orang tahu kalau itu ikan.
Sebagai wujud review (learning) dia menghilangkan tulisan “IKAN” di depan kiosnya. Jadilah kios ikannya sama seperti kebanyakan kios ikan yang lain. Bisnisnya menjadi biasa saja dan tidak tumbuh. Padahal Pak Dirman telah menargetkan kenaikan jumlah persediaan untuk meningkatkan penjualan. Tentunya ini suatu review yang menghasilkan kemunduran. Jauh dari ekselen.
Melihat kondisi tersebut, anak sulung Pak Dirman yang kebetulan baru selesai kursus interpretasi KPKU berfikir keras. Dia ingat apa yang disampaikan oleh mentornya dari Forum Ekselen BUMN (FEB) bahwa learning harus bisa menghasilkan inovasi produk atau cara baru agar usaha dapat tumbuh.
Si sulung lalu berusaha menggali informasi lebih lanjut dari mentornya tentang inovasi apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan jumlah pelanggan. Mentornya merekomendasikan untuk berkonsultasi dengan salah seorang pakar marketing.
Kemudian Pak Dirman dan anak-anaknya menemui pakar marketing tersebut. Mereka sepakat untuk mengaplikasikan teknologi “sms blast” untuk meningkatkan jumlah pelanggan. Pak Dirman mengumpulkan data nomer handphone pengunjung yang tinggal dan kerap berbelanja di sekitar pasar. Meniru metode perang gerilya. Kemudian dengan modem internet dan aplikasi messenger, dilakukan penyebaran sms promo secara periodik.
Pak Dirman membroadcast sms setiap jumat berbunyi, “BUY 1 GET 1 PATIN/SALMON. Tukarkan sms ini di KIOS IKAN PAK DIRMAN. S&K”. Setelah beberapa lama, ternyata sms blast tersebut terbukti mampu meningkatkan jumlah pelanggan yang datang dan meningkatkan penjualan.
“KPKU ternyata canggih ya Nduk”, ujar Pak Dirman pada anaknya. “Besok belajar lagi yang rajin. Terus yang penting jangan lupa dipraktekan. Biar usaha keluarga kita makin maju”, nasehat Pak Dirman. Si sulung pun bersemangat untuk berbisnis ekselen. Membara seperti semangat Panglima Besar Jenderal Sudirman.
KPKU berhasil menginspirasi dan mendorong usaha Pak Dirman. Bagaimana dengan insan RNI? Tentunya jauh lebih canggih karena terbiasa menerapkan cara yang sistematis, konsisten dan efektif. Serta telah terbiasa mengukur efektifitas setiap proses, membandingkan dengan pesaing, dan membuat proyeksi agar hasil selalu tumbuh.
KPKU adalah tools canggih yang akan mendorong insan-insan penggunanya semakin cemerlang. Yuk, sama-sama kita juga harus terus belajar KPKU. Jangan kalah dengan anak-anak Pak Dirman. Satu jiwa raih juara. Salam ekselen! (RSD-RW1).