MENILIK RANCANGAN REVISI SNI GULA KRISTAL PUTIH

Membandingkan dengan standar adalah cara obyektif untuk menilai mutu suatu produk. Dikarenakan, apabila mutu suatu produk dinilai berdasarkan selera maka hasil penilaian akan bervariasi dan berubah-ubah. Oleh karena itu standar menjadi hal yang penting. Di Indonesia ada Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang bertugas membuat standar, yaitu Badan Standardisasi Nasional (BSN).

Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 68/PERMENTAN/.OT.140/6/2013 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Gula Kristal Putih (GKP) Secara Wajib, pemerintah telah memberlakukan SNI 3140.3:2010 dan Amandemen 1.2011 GKP secara wajib. Baik GKP produksi dalam negeri maupun impor wajib memenuhi persyaratan SNI. Apabila produk yang beredar di pasaran tidak sesuai SNI maka pemerintah melalui Kementerian Perdagangan berwenang untuk melaksanakan penindakan.

Pada awal tahun 2020 ini, BSN mensosialisasikan Rancangan Revisi SNI (RSNI) Gula Kristal Putih. Rancangan tersebut dirilis dengan Kode PNPS 3140-3:2020 dan sedang dalam tahap jajak pendapat melalui laman website sispk.bsn.go.id sampai dengan 9 Maret 2020. Partisipasi aktif dan konstruktif diperlukan dari seluruh kalangan, baik akademisi, kelompok tani maupun praktisi industri gula demi kesempurnaan SNI tersebut.

Perbedaan yang paling signifikan antara SNI dan RSNI Gula Kristal Putih adalah dihilangkannya pengelompokan GKP1 dan GKP2. Pada RSNI berlaku satu kriteria, yaitu standar Gula Kristal Putih dengan mengambil range standar warna larutan gula dari GKP1 hingga GKP2 atau 76-300 Icumsa Unit (IU). Hal tersebut tentunya menguntungkan bagi pabrik gula karena dapat memproduksi gula dengan range warna larutan yang lebih lebar tanpa perlu melakukan dua kali sertifikasi (GKP1 dan GKP2). Biaya sertifikasi pun dapat dihemat.

Kemudian untuk parameter warna kristal, pada RSNI dihapuskan. Hanya berlaku satu standar warna, yaitu warna larutan dengan satuan Icumsa Unit (IU) yang diukur pada penyimpanan maksimal dua bulan pada suhu ruang. Oleh karena itu, apabila Satgas menemukan produk gula yang warnanya melebihi range 76-300 IU perlu dipastikan dahulu sudah berapa lama penyimpanannya. Hal tersebut untuk mengantisipasi terjadinya kerusakan mutu akibat kesalahan penanganan pada saat distribusi. Apabila kerusakan terjadi selama distribusi tentunya Satgas tidak bisa serta merta menyalahkan produsen.

Parameter lain yang berubah adalah tentang ukuran gula atau besar jenis butiran (bjb). Pada SNI yang berlaku saat ini syarat bjb untuk GKP1 maupun GKP2 adalah 0,8-1,2 mm. Sementara RSNI nampaknya telah mengakomodir adanya permintaan pasar akan ukuran gula yang lebih halus sehingga range bjb diperlebar menjadi 0,2-1,2 mm. Kemudian terkait standar cemaran logam, RSNI menghapus indikator tembaga (Cu). Namun menambahkan batasan standar cemaran kadmium (Cd) maks. 0,20 ppm atau mg/kg dan raksa atau merkuri (Hg) maks. 0,05 ppm atau mg/kg.

Dilansir dari laman bsn.co.id, pemerintah menganut prinsip kehati-hatian dalam menerapkan SNI yang bersifat wajib untuk menghindari risiko-risiko yang timbul. Salah satunya adalah jangan sampai penetapan wajib SNI menghambat kreativitas dan produktivitas masyarakat untuk menciptakan produk yang bernilai ekonomis. Selain itu, pemerintah juga berorientasi melindungi usaha mikro, kecil, dan menengah, sehingga penetapan standar SNI justru mendorong mereka meningkatkan daya saing dan menaikkan kualitas barang/jasa yang diproduksi. Sejalan dengan arahan pemerintah, PT PG Rajawali I senantiasa berkomitmen untuk memenuhi Standar Nasional Indonesia Gula Kristal Putih. Satu jiwa raih juara! (rsd).

Leave a Reply

error: Content is protected !!