Disampaikan oleh Tim Bidang Tanaman Kantor Direksi PT PG Rajawali I bersama dengan PT RNI (Persero) sebagai hasil kunjungan kerja ke pabrik gula di Thailand pada 31 Maret s.d 5 April 2019, PG Di Thailand juga menerapkan prinsip kemitraan untuk mendapatkan bahan baku tebu dari petani.
Prinsip kemitraan tersebut mendasari adanya pola bagi hasil. PG mendapatkan sumber bahan baku tebu berasal dari petani dengan sistem bagi hasil 70%:30% dimana harga gula ditetapkan bersama oleh PG, Petani dan Pemerintah. Sebesar 70% bagian gula yang dihasilkan untuk petani dan 30% lainnya untuk PG.
Uniknya, angka rendemen sebagai patokan bagi hasil ditetapkan atas kesepakatan bersama antara PG, Petani dan Pemerintah. Rendemen awal giling di tetapkan sebesar 10%. Rendemen tersebut akan naik berjenjang sesuai periode giling mempertimbangkan trend kemasakan tebu. Semakin masak tanaman tebu, maka rendemen gula yang dimilikinya akan tinggi sehingga rendemen patokan bagi hasil harus dinaikan.
Petani harus konsisten mengirim tebu dengan kualitas rendemen 10%. Jika tebu yang dikirimkan kualitasnya di bawah standar maka akan dilakukan pemotongan nilai rendemen bagi hasil. Setiap penurunan rendemen sebesar 1%, harga dikurangi 42 bath per ton tebu. Demikian halnya jika tebu yang dikirim melebihi standar rendemen. Setiap kelebihan rendemen sebesar 1%, harga ditambah insentif 42 bath per ton tebu.
Misalnya petani mengirim satu truk berisi 7 ton tebu. Harga tebu yang ditetapkan oleh PG, Pemerintah dan Petani adalah 700 bath per ton dengan kurs 1 bath Thailand (THB) saat ini sebesar Rp 453 (IDR). Ternyata rendemen yang petani hasilkan setelah dihitung dengan metode Comercial Cane Sugar (CCS) hanya sebesar 7%. Artinya kualitas tebunya di bawah standar sebesar 3%.
Sehingga harga yang harus di bayarkan oleh PG dengan skema bagi hasil, yaitu: (R dipersyaratkan= 10%) x (jumlah tebu= 7 ton) x (harga tebu= 700 bath/ton), dikurangi (selisih standar rendemen= 42 bath x 7 ton tebu). Harga yang harus dibayarkan tanpa pemotongan rendemen adalah 490 bath, sementara karena tebu yang dikirimkan rendemennya di bawah standar maka dipotong sebesar 294 bath. Maka yang diterima petani sebesar 196 bath atau Rp 88.788 ,00. Hitungan tersebut belum termasuk bagi hasil tetes dan penjualan daduk.
Nampaknya jika sistem tersebut diterapkan di Indonesia, maka tidak akan ada petani yang mau mengirimkan tebu ke PG karena rendemen mereka umumnya di bawah standar khususnya pada awal periode giling. Tebu varietas Bululawang yang mendominasi di wilayah Malang Raya misalnya, baru mencapai puncak kemasakan pada periode tengah/akhir giling (September-Oktober). Pada periode tersebut rendemen varietas bululawang bisa di atas 10%. Namun di awal giling (Mei-Juni) sulit sekali mendapat rendemen 6% dari varietas bululawang.
Jumlah tebu terbakar di Thailand cukup tinggi, mencapai 50% dari kapasitas giling. Namun periode tebu terbakar dengan proses penebangan kurang dari 1 hari. Menurut ketentuan, tebu terbakar dikenakan pemotongan harga, tapi dalam pelaksanaannya PG hanya memberi himbauan kepada petani dan harga yang diterima petani tetap. Pencairan pembayaran tebu tersebut dilakukan 2 minggu sekali.
Mekanisme pendaftaran mitra petani diatur pemerintah. Petani mengajukan pendaftaran menanam tebu ke pemerintah yang selanjutnya akan ditetapkan untuk bermitra di salah satu PG yang ditunjuk, petani yang mengirim tebu ke PG lain akan dicabut ijinnya oleh pemerintah. Dalam 1 wilayah kerja PG memiliki 1 asosiasi petani yang membawahi semua kelompok/petani, dan tersedia kantor perwakilan wilayah untuk pertemuan, pelayanan dan pembinaan kepada petani.
Peran PG selain memberikan pembinaan melalui Sekolah Petani Tebu juga memberikan pinjaman modal kerja kepada petani dan sekaligus sebagai avalis. Sistem diatur sedemikian rupa agar terjadi interaksi saling mengisi dan membutuhkan (simbiosis mutualisme). Demikian sharing knowledge oleh-oleh kunjungan kerja dari Thailand. Semoga dapat menginspirasi para penggiat tebu dan industri gula nasional. Jangan pernah berhenti untuk berbagi dan belajar. Satu jiwa raih juara! (RSD).
Mmembina kelompok tani sehingga tercipta cultuur menanam tebu sbg tanaman perkebunan perlu usaha comprehesive kel tani ,pg, pemerintah.
Sehingga tercipta system baru, kesepakatan .
Pg sbg RC, penanggung jawab, penjamin, sbg leader, konseptor praktek terbaik yg harus dijalankan,pemerintah sbg supporter dan sugestion,kel tani sbg suporter dan sugestion..
Caranya kerja keras, jujur ,profesioanal.
Jadi untuk bench mark thailand, indonesia harus kembali menegakkan p3gi, lpp , ptp gula dala satu team yg solid. Agar indonesian sugar culture industri mampu lahir kembali. Sekian komentar.